Patung Pastur |
Menelisik lebih jauh soal keberadaan Patung Pastor ditaman Maluku, Bandung. Taman yang juga menjadi menjadi salah satu paru-paru Kota Bandung ini menyimpan sebuah kisah simpang siur serta mitos soal ke beradaan Patung Pastor Verbraak dan konon juga Pastor meninggal karena kecelakan pesawat dan dikuburkan tempat dibawah patung tersebut sekarang berada, namun beberapa tahun kemudian jasadnya kembali diambil oleh keluarganya untuk dibawa ke negeri Belanda kemudian dimakan disana dan patung pastoer itu pun didirikan sebagain penghargaan kepada jasa beliau tempat dibekas kuburan yang berada ditaman maluku selain soal identitas patung ini , Patung yang terletak di jalan ambon ini merupakan salah satu urbanlegend di Kota bandung yang sering menjadi perbincang karena ke angkerannya, konon menurut beberapa artikel yang kami baca beberapa kali para pengunjung yang mengunjungi tempat ini di malam hari sering mengalami hal yang ganjil seperti patung yang mata melirik ke kanan dan kekiri, lalu posisi tangan yang memagang buku sering berubah-berubah bahkan pernah suatu ketika patung tersebut hilang dari posisi atau dalam kata lain berjalan-jalan sendiri di sekitar taman maluku. Memang informasi yang kami dapat tidak sesuai fakta sebenar karena beberapa kali kami mengunjungi tempat ini dan menanyakan langsung ke narasumber yang sudah bertahun tahun tinggal di dekat lokasi tersebut, tidak membenarkan informasi ini, menurut penuturan sumber yang kami dapat bahwa cerita yang salam ini beredar hanya sebuah lucuan semata atau sebagai daya tarik dimalam hari biar banyak orang yang tertarik berkunjung ketempat itu. wallahualam
Namun sebenarnya Pastor Verbraak tidak mengalami kecelakaan
pesawat, dan tidak jelas bagaimana berita itu bisa muncul. Bahkan sebenarnya
Pastor Verbraak sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah Priangan
ini. Ini ringkasan riwayatnya.
Henricus Christiaan Verbraak dilahirkan di Rotterdam pada 24
Maret 1835. Pada mulanya ia ingin menjadi pedagang, tetapi pada umurnya yang ke
27 ia mengikuti panggilan hatinya: belajar teologi. Tahun 1869 Verbraak
ditahbiskan sebagai pendeta oleh Monseigneur Les Meurin, uskup dari Ascalon
& Bomberg. Verbraak menetapkan hati untuk mengabdikan hidupnya dalam
pekerjaan misionaris di Indiƫ. Tugas pertamanya adalah menjadi misionaris di
Padang. Verbraak berlabuh di kota itu pada tanggal 15 Oktober 1872.
Dari Padang, Verbraak diutus ke Tanah Aceh. Pada tanggal 29 Juni
1874, ia menginjakkan kaki di pantai Pantai Ulee Lheue, Aceh, dan akan tinggal
di Tanah Aceh hingga 23 Mei 1907. Hari itu adalah terakhir kalinya Verbraak
merayakan Ekaristi bersama umat di Gereja Hati Kudus Yesus Banda Aceh yang
sekaligus menjadi acara perpisahannya. Verbraak berangkat menggunakan kereta
api dari Ulee Lheue menuju Padang. Sepeninggal Verbraak, umat yang terkenang
mendirikan patung Pastor Verbraak di Simpang Pante Pirak dan Peunayong, dekat
gerejanya. Simpang itu sekarang dikenal dengan nama Simpang Lima dan patungnya
sudah tidak ada lagi.
Selama bertugas di Aceh 33 tahun, Verbraak melaksanakan tugasnya
sebagai pendeta dengan penuh pengabdian walaupun berada di tengah kancah
pertempuran sengit waktu itu. Sampai tahun 1877 Verbraak harus tinggal di
sebuah gubuk sederhana yang sekaligus menjadi tempat pelayanannya. Gubug
tersebut merupakan sebuah bagian keraton yang telah dikuasai tentara Belanda.
Dari sana Verbraak melayani 2000 orang, 1500 di antaranya adalah tentara.
Tahun 1877, pemerintah Belanda memberikan tanah di pinggir
Sungai Atjeh yang juga disebut Pante Pirak. Di situlah para tentara membangun
sebuah kapel dan pastoran sederhana dari kayu dan bambu. Namun, daerah tersebut
sering dilanda banjir sehingga bangunan itu tidak tahan lama. Penguasa militer
saat itu, Van der Heyden, yang mengetahuinya masalah ini memberikan izin untuk
mendirikan bangunan yang lebih layak. Dimulailah pembangunan gereja dan
pastoran baru yang mulai dilaksanakan pada 5 Februari 1884. Gereja dengan
menara tersebut dibangun dari kayu yang berkualitas bagus dan lebih kuat dari
sebelumnya. Satu tahun kemudian, pada Hari Raya Paskah, gereja tersebut mulai
digunakan dan dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus. Gereja ini menjadi Gereja
Katolik pertama di Aceh dan setelah mengalami perombakan pada tahun 1924, masih
tetap berdiri hingga saat ini.
Tahun 1896-1897 adalah tahun yang paling sibuk untuk Pastur
Verbraak. Tiap malam kereta tiba di Kutaraja, mengangkut korban-korban luka dan
meninggal. Jika satu kereta memasuki Kutaraja, pastor Verbraak menunggu di
depan. Setelah semua korban masuk kerumah sakit, Verbraak siap di samping
tempat tidur mereka untuk menghibur dan menguatkan mereka. Bahkan pasien kolera
pun ia jenguk. Verbraak tidak menghiraukan risiko tertular kolera di barak ini.
Ia juga berani di tengah hujan peluru tetap menghibur dan menenangkan para
tentara di medan perang.
Pastor Verbraak, layaknya seorang bapak yang penuh kasih,
mencari panti asuhan atau orang tua angkat untuk anak-anak yang tertinggal
dan tidak terurus. Semua instansi di Aceh dihimbau Verbraak untuk memenuhi
kewajiban mereka sebagai umat Tuhan supaya membantu anak-anak yatim piatu ini.
Kepedulian pastor Verbraak kepada anak-anak ini membuatnya dicintai semua
orang.
Jika ada berita pastor Verbraak tercinta dari Ulee Lheue akan
datang berkunjung ke satu tempat, satu batalyon dengan 30 bayonet dipimpin oleh
seorang sersan keluar dari benteng untuk menjemputnya. Setibanya Verbraak di
benteng, ia akan disambut seperti kawan lama.
Untuk peringatan 25 tahun bekerja sebagai pendeta dan bersamaan
dengan peringatan ia tinggal 20 tahun di Aceh, pemerintah menganugerahkan gelar Ridder in de Orde van den Nederlandsche Leeuw (Ksatria dalam orde Singa Belanda) untuk Verbraak. Gelar ini ia
terima disamping Medali Aceh dan bintang Ekspedisi yang telah
dimilikinya. Van Heutsz menjadikan Verbraak, pendeta Jesuit ini, sebagai
teladan untuk anak buahnya sebelum berangkat bertugas.
Tahun 1907 Pastor Verbraak memutuskan untuk berhenti bekerja
setelah 33 tahun bekerja tanpa henti di daerah tropis. Usianya saat itu telah
77 tahun dan ia siap menyerahkan pekerjaannya kepada kaum muda. Walaupun
fisiknya masih kuat dan sehat, tetapi penglihatannya saat itu sudah sangat
memburuk. Setelah pensiun Verbraak bermukim di Magelang, kota militer di Jawa
Tengah.
Di Magelang kesehatan
Pater Verbraak terus menurun, banyak orang telah menawarkan pengobatan untuk
penyakitnya, namun Verbraak menjawab, “It is old of age. I have lived in
good health for 80 years and in the Holy Scripture is written ‘labor et dolor est’ … My
old body does not need a nurse; that is too costly”. Pada
tahun itu, 1915, ia merayakan ulang tahunnya ke-80. Perayaan ini mendapat
perhatian besar dari penduduk Magelang. Pendeta C.W. Wormser yang mengasuh
majalah mingguan Tong-tong dan
yang menulis bagian artikel yang diterjemahkan ini mengatakan: Saya sangat beruntung waktu itu dapat berjabat
tangan dengannya.”
Tiga tahun kemudian Verbraak meninggal dunia. Jasadnya dikubur
dengan upacara kehormatan militer. Musik duka terdengar di hati ribuan
masyarakat yang berkabung. Verbraak telah mengabdikan hidupnya untuk orang
lain, ia hidup di antara militer di Indiƫ, pekerjaannya mengikuti dia. Mottonya
menjadi kenyataan: ‘ad
majora natus sum‘, ‘Saya dilahirkan untuk mengerjakan hal-hal yang besar’.
Menurut catatan P. van Hoeck, seorang pengajar di Canisius
College, Nijmegen, Verbraak wafat pada 1 Juni 1918 dan dimakamkan di Molukkenplein, Magelang. Pada upacara
pemakaman yang sederhana, Pastor van Hout SJ menyatakan: “God loved this man
who loved his fellow human beings, he was our great example of human endurance
and virtue. Dilectus
Deo et hominibus cuius memoria in benedictione est. We will never forget
you. Farewell and until we meet again in heaven. Amen.”
Pemerintah Kota Rotterdam pada tahun 1922 memberikan penghargaan
untuk Pastor Verbraak sebagai warga kota teladan atas segala pengabdiannya bagi
kemanusiaan. Di Bandung, lembaga The Dutch East Indian Army mengumpulkan dana
dan mendirikan patung Pastor Verbraak pada tanggal 27 Januari 1922 di sebuah
taman yang pernah berjuluk ”Paradisi in Sole Paradisus Terrestris” (tanah surga di bawah cahaya matahari). Patung ini dirancang di
Belanda oleh seniman G.J.W. Rueb.
Patung badan utuh
Verbraak dipasang di salah satu sudut utara Taman Maluku. Letaknya menghadap
Jalan Seram. Di sebelah kirinya adalah kompleks gedung militer yang dulu
ditujukan untuk Istana Komanda Militer (Paleis van den Legercommandant)
di Bandung. Jadi tidak benar juga pendapat yang mengatakan bahwa patung ini
dipasang menghadap ke istana komandan militer.
Henricus Christiaan Verbraak |
Pada bagian bawah patung terdapat prasasti dengan tulisan:
PASTOOR
H.C. VERBRAAK
H.C. VERBRAAK
1835 – 1918
AALMOEZENIER
1874 – 1881
1874 – 1881
ATJEH
1874 – 1907
1874 – 1907
Dalam “The Chaplain: P.
Henricus Verbraak S.J.” tulisan F. Van Hoeck S.J., yang dimuat dalam majalahClaverbond tahun
1918, terdapat biografi Verbraak dengan pengantar oleh Gubernur Jendral J.B.
van Heutz yang pernah berjumpa langsung dengan sang Pastor: “… I had the
privilege to know this great man of whom the Roman Catholic Church can be proud
of, during the years of my assignment to Atjeh. I have seen him carry out his
duties from close distance. How he administered the means of grace of the
Church to the wounded, the sick and the dying, without fear for his own
personal safety and not at all concerned about being infected by cholera and
other diseases. He was respected and loved by people of all faiths, by officers
and minors alike, because for him everybody was the same: everyone was God’s
child. He was there to soothe the grief and the pain. And he worked for 33
years as long as his strength did not fail him. A true servant of God, his
whole life devoted to his fellow human beings with complete self-denial,
without ever asking something for himself.”
0 komentar:
Posting Komentar