Lampu senter yang mengantar
rombongan masuk Gua Belanda di hutan Dago Pakar, Bandung, malam itu, sengaja
dimatikan. Suasana mendadak hening. Dalam gelap yang pekat itu, beragam suara
terdengar bergantian. Awalnya, bunyi geraman hewan buas, lalu desis seperti
ular, kemudian suara orang melangkah memakai sepatu bot.
“Jelas banget. Suaranya seperti
menempel di kuping,“ kata Aufi Sillah, 20 tahun.
Jantung mahasiswa Institut Manajemen
Telkom Bandung itu semakin berdebar ketika kepalanya terasa dielus dua kali. Ia
menyangka itu ulah iseng tiga temannya. Namun, ketika ditanya sekeluarnya dari
terowongan itu, teman-temannya tak ada yang mengaku. Kejutan itu dialami Aufi
saat pertama kali ikut ekspedisi Komunitas Wisata Mistis ke Gua Belanda pada 26
Mei lalu.
Berselang dua pekan, Aufi kembali
ikut perjalanan malam ke Gua Jepang yang lokasinya tak jauh dari Gua Belanda.
Saat itu rombongan heboh karena seorang peserta perempuan sempat kerasukan.
Walau mengaku takut hantu, Aufi malah penasaran. ”Ada sensasi tersendiri,
acaranya jadi bikin ketagihan,” katanya, Jumat lalu.
Tak puas berbincang di dunia maya,
tujuh orang anggota forum itu memutuskan bertemu langsung. Lokasinya di depan
SMA 3 Bandung, di Jalan Belitung, pada pukul 21.00. Mereka ingin membuktikan
mitos hantu Noni Belanda bernama Nancy.
Kabarnya, si hantu suka muncul di
lantai dua gedung sekolah itu, tepatnya di kelas yang lampunya menyala dan
jendelanya terbuka. Kelas itu bisa terlihat dari jalan raya di depan sekolah,
sehingga mereka tak perlu masuk. ”Tiga orang dari kami bisa melihatnya di
sekolah itu,” kata salah seorang pendiri komunitas itu, Baruna Bagaskara, 23
tahun.
Perjalanan pada 10 April 2011 itu
kemudian dijadikan tonggak pendirian Komunitas Wisata Mistis. ”Tujuannya untuk
membuktikan mitos hantu di Bandung, karena suka banyak cerita yang enggak
benar,” ujar Sekretaris Komunitas, Dady Setiadi Suarsa, 21 tahun.
Lokasi wisata yang akan didatangi
mereka tentukan dari kongko rutin tiap Rabu malam. Tempatnya di warung tenda
angkringan seberang gerbang kampus Institut Teknologi Bandung di Jalan Ganesha.
Acara kumpul-kumpul itu terkadang berpindah ke Warung Indung Jalan Riau, mulai
pukul 20.00.
Tempat yang telah dikunjungi, selain
ketiga tempat di atas, adalah terowongan air Sungai Cikapundung Sang Hyang
Tikoro. Selain itu, ada ekspedisi khusus. Misalnya, membuktikan hantu anak
kecil dan mitos boneka di jembatan Sungai Cikapundung dekat hutan kota Babakan
Siliwangi. Juga kisah sumber mata air Sumur Bandung dan pohon beringin angker
di Jalan Ciumbuleuit dan di belakang Gedung Sate.
Awalnya, perjalanan rombongan ini
hanya bermodalkan nyali. Sejak awal 2012, pengurus merancang wisata mistis
lebih serius. Sebelum rombongan tiba, tim metafisika diutus untuk sowan dan
melakukan pendekatan ke penghuni gaib di lokasi. Biasanya mereka berbekal dupa
atau kemenyan. Tim itu bertugas menjaga keamanan dan keselamatan peserta dari
gangguan makhluk gaib. Panitia juga menyiapkan tim medis.
Siapa pun yang berminat, ujar Dady,
bisa ikut bergabung wisata gratis ini tanpa harus menjadi anggota. Khusus bagi
anak berusia 17 tahun ke bawah, harus disertai surat izin dari orang tua. Soal
biaya, pada lokasi tujuan tertentu seperti di tempat wisata, panitia hanya
menarik iuran Rp 13 ribu untuk patungan membayar pencerita dan uang parkir.
Anggota komunitas itu kini berjumlah
200 orang lebih. Umumnya dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Kini konsep,
aturan, dan standar keamanan Komunitas Wisata Mistis itu diminati kelompok
minat serupa di berbagai daerah. Komunitas yang terbentuk, misalnya, Wisata
Mistis IPB Bogor, Wisata Mistis Sumedang, dan Wisata Mistis Mataram, Nusa
Tenggara Barat.
Ke
depan, jenis wisata mistis itu rencananya akan dikembangkan bagi kalangan
khusus, misalnya karyawan perusahaan yang beberapa kali telah meminta diajak
berwisata. ”Komunitas itu bisa membuat kesan mistis yang menakutkan jadi acara
seru,” ujar Aufi Sillah. Berani ikut? (L ANWAR SISWANDI)
Sumber : Koran tempo Edisi,15 Juli 2012 (Memburu Mitos Hantu Bandung)
yeah masuk koran nasional euy luar biasa sesuatu banget komunitas ini...
BalasHapus